Dr. H. Kaswad Sartono, M.Ag.
MENATAP SEPARUH JIWA PERGI
Suasana siang hari itu di
Bandara Internasional Hasanuddin Mandai cukup ramai dengan penumpang. Seorang anak
muda separuh baya terlihat tenang turun
dari Inova hitam. Hatinya sudah mantap.
Berguru di pusat ilmu, jauh disana, di Sudan, salah satu negara Islam di Benua
Afrika yang wilayahnya masih lebih luas dari Arab Saudi. Negeri terluas
kesepuluh di dunia. Negara ini berbatasan dengan Mesir di utara, Laut Merah
di timur laut, Kongo
dan Afrika Tengah
di barat daya, Chad
di barat, dan Libya
di barat laut. Kedua orang tuanya sesekali tersenyum kepadanya sambil menyemangati.
Ada kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri yang tak terlukiskan di hati.
Sekira 10 menit kemudian,
terdengar seruan dari pengeras suara mempersilahkan penumpang Garuda menaiki
pesawat. Anak itu berkemas lalu menyalami kedua orang tuanya, ibunya memeluknya
sambil mencium pipinya, anak itu menatap ayahnya sekali lagi dan mencium
adiknya lalu bergegas melangkah sembari melambaikan tangan. Suami istri itu
larut dalam perasaannya masing-masing. Matanya menatap tanpa kedip sedikit pun,
seperti juga doanya dalam hati yang tak henti menderu mengharap anaknya selamat
dan pulang dengan ilmu dan kearifan. Ketika anak itu hilang dari pandangan,
mata ayahnya tak terasa berkaca-kaca juga jadinya, ada kebahagiaan yang
mengharu birukan perasaan, di satu sisi merasa bangga tapi di satu sisi tak
mampu menyembunyikan perasaan pertama kali berpisah dengan anak yang dicintai.
Tak mau larut dalam perasaan sendiri, pria itu menoleh ke istrinya untuk diajak
pulang, tapi ternyata sang ibu dari separuh jiwa yang dilepas itu lebih merasakan
perpisahan. Perasaan seorang ibu memang terasa lebih berat, pengorbanan yang
sungguh berat, hanya air mata menetes di pipi yang mampu membahasakan.
Begitulah sekilas gambaran
suasana hati Dr. H. Kaswad Sartono, M.Ag. bersama istrinya, Hj. Suryani, S.Ag.,
saat melepas anak sulungnya untuk melanjutkan pendidikan di Universitas
Internasional Afrika di Sudan pada tahun ajaran 2013 lalu. Saat melepas anak
pertamanya alumni Pesantren DDI Mangkoso yang kini menjabat Kepala Bidang
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kantor Wilayah Kementerian Agama
Sulsel, merasakan, dua perasaan yang berbeda menyatu di hatinya. Perasaan
bahagia dan bangga melihat ketulusan anaknya menuntut ilmu nun jauh di negeri
orang namun di satu sisi hatinya juga tak mampu menyembunyikan keterharuannya
melepas anak yang dicintai.
“Saya memang merasakan juga
kesedihan waktu melepas anak saya. Terlintas di pikiran saya tidak akan bertemu
dengan anak untuk beberapa lama. Namun, pengorbanan seorang istri atau ibu dari
seorang anak memang sungguh lebih berat lagi. Luar biasa memang pengorbanan
seorang istri. Dia yang mengandung,
melahirkan, merawat sabang hari tiba-tiba harus berpisah dalam kurung waktu
yang cukup lama,” ungkap H. Kaswad Sartono mengenang.
Perasaan pasangan suami istri
ini tentu saja menjadi kenangan yang teramat manis di dalam lembaran kehidupan
rumah tangganya. Pasalnya, seorang anak memang selalu menjadi kebanggaan bagi
orang tuanya, di tubuhnya mengalir sebahagian dari jiwa ayahnya dan sebahagian
lagi tersemai jiwa ibunya. Dialah pemersatu antara jiwa yang berbeda
sebagaimana yang terikrar saat pernikahan dahulu.
Menurut Dr. Kaswad, pengorbanan
seorang istri terhadap keluarganya, suami dan anak-anaknya memang sungguh luar
biasa besarnya. Suami istri adalah ibarat satu pasang yang berasal dari dua
insan yang berbeda karakter dan keinginannya, yang kemudian dipersatukan.
Apalagi, jika keduanya berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda
kehidupan sosial dan budayanya, tentu saja pengorbanan satu sama lainnya tidak
bisa terukur.
“Mustahil kita mampu membangun
keluarga sakina tanpa disertai perjuangan dan pengorbanan,” tandasnya.
Bagi seorang istri lanjutnya, sejak
awal pernikahan mereka pada umumnya sudah merasakan pengorbanan itu, kemudian saat mengandung hingga melahirkan makin
bertambahlah pengorbanan itu sehingga agama membahasakan “susah di atas susah”. “Jadi membangun
keluarga itu suatu perjuangan. Mustahil keluarga sakinah bisa terwujud tanpa
ada pengorbanan dari kedua belah pihak, suami sitri,” tambahnya.
Diakuinya, setiap keluarga
memiliki pengalaman tersendiri di dalam membangun rumah tangga sakinah. Tak ada
keluarga yang tidak memiliki problem. Hanya saja mereka yang mampu
mempertahankan keutuhan keluarga adalah yang mampu menghilangkan keegoannya,
masing-masing mempertahankan prinsipnya, ingin menang sendiri. Padahal, mereka
yang mampu mempertahankan keluarganya sampai titik penghabisan jika mereka
berhasil mengatasi problem. Kenyataan sekarang, banyak keluarga yang begitu
menghadapi masalah langsung ke pengadilan.
Padahal, lanjut Dr. Kaswad, dalam
teori keluarga sakinah dikenal istilah manajemen konflik. Disinilah dibutuhkan
keterbukaan. Kedua pihak harus memiliki kesabaran.
Dalam membangun rumah tangga
sakinah, Dr. Kaswad memiliki pengalaman menarik sepanjang menapaki hidup dengan
istrinya, Hj. Suryani yang kini telah dikarunia empat anak. Pernikahan kedua
insan ini ibaratnya mempertemukan dua sisi yang bertolak belakang. Istrinya
berasal dari keluarga saudagar Bugis di Sidrap sementara dirinya seorang
musafir dari tanah jawa yang tengah menuntut ilmu di pesantren. Dengan latar
belakang saudagar seharusnya kehidupan rumah tangganya tidak diwarnai dengan
kesulitan, namun kenyataan berbicara lain, justru kehidupan rumah tangganya diwarnai
dengan perjuangan yang dimulai dari nol besar. Istrinya waktu itu baru tamat
Aliyah, sementara Kaswad muda waktu itu belum terangkat sebagai PNS. Pendidikan
S1 pun belum diselesaikan sekalipun sudah mengikuti KKN. Pekerjaannya waktu itu
adalah imam masjid dan mengajar di madrasah Diniyah. Istrinya juga sebetulnya salah
seorang muridnya saat mengajar di Aliyah. Hanya saja waktu itu sama sekali
tidak membayangkan kalau muridnya yang selalu juara kelas belakangan jadi
jodohnya.
Dr. Kaswad mengakui, pengorbanan
istrinya memang tak ada tandingannya. Dari awal sudah mengorbankan perasaannya
demi suami dan anak-anaknya. Dengan latar belakang keluarga yang sudah mapan
ekonominya tentu saja tak perlulah hidup susah. Tapi begitulah kenyataannya.
Setelah menikah keduanya segera ke Kota Makassar. Kalau di kota kelahirannya,
sang istri sudah terbiasa tidur di rumah besar dengan kasur empuk, kemana-mana
diantar jemput dengan mobil, maka di Makassar dia menempati sebuah kamar kos di
Jalan Mannuruki VII. Di kamar itulah dia tidur dengan kasur tanpa ranjang,
disitu pula memasak, mencuci pakaian dan menerima tamu.
“Saya memahami betul perasaan
istri saya yang begitu ikhlas dan mau mengorbankan perasaannya,” ungkapnya.
Pengorbanan lain yang juga tak
terlupakan adalah ketika Dr. Kaswad diterima jadi PNS. Waktu itu istrinya
sangat ingin mengungkapkan rasa syukurnya sehingga merelakan kalungnya dijual.*
Jurlan Em Saho’as
Tidak ada komentar:
Posting Komentar