Powered By Blogger

Senin, 14 Juli 2014

MENATAP SEPARUH JIWA PERGI



Dr. H. Kaswad Sartono, M.Ag.
MENATAP SEPARUH JIWA PERGI


Suasana siang hari itu di Bandara Internasional Hasanuddin Mandai cukup ramai dengan penumpang. Seorang anak muda separuh baya terlihat  tenang turun dari Inova hitam.  Hatinya sudah mantap. Berguru di pusat ilmu, jauh disana, di Sudan, salah satu negara Islam di Benua Afrika yang wilayahnya masih lebih luas dari Arab Saudi. Negeri terluas kesepuluh di dunia. Negara ini berbatasan dengan Mesir di utara, Laut Merah di timur laut, Kongo dan Afrika Tengah di barat daya, Chad di barat, dan Libya di barat laut. Kedua orang tuanya sesekali tersenyum kepadanya sambil menyemangati. Ada kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri yang tak terlukiskan di hati.
Sekira 10 menit kemudian, terdengar seruan dari pengeras suara mempersilahkan penumpang Garuda menaiki pesawat. Anak itu berkemas lalu menyalami kedua orang tuanya, ibunya memeluknya sambil mencium pipinya, anak itu menatap ayahnya sekali lagi dan mencium adiknya lalu bergegas melangkah sembari melambaikan tangan. Suami istri itu larut dalam perasaannya masing-masing. Matanya menatap tanpa kedip sedikit pun, seperti juga doanya dalam hati yang tak henti menderu mengharap anaknya selamat dan pulang dengan ilmu dan kearifan. Ketika anak itu hilang dari pandangan, mata ayahnya tak terasa berkaca-kaca juga jadinya, ada kebahagiaan yang mengharu birukan perasaan, di satu sisi merasa bangga tapi di satu sisi tak mampu menyembunyikan perasaan pertama kali berpisah dengan anak yang dicintai. Tak mau larut dalam perasaan sendiri, pria itu menoleh ke istrinya untuk diajak pulang, tapi ternyata sang ibu dari separuh jiwa yang dilepas itu lebih merasakan perpisahan. Perasaan seorang ibu memang terasa lebih berat, pengorbanan yang sungguh berat, hanya air mata menetes di pipi yang mampu membahasakan.
Begitulah sekilas gambaran suasana hati Dr. H. Kaswad Sartono, M.Ag. bersama istrinya, Hj. Suryani, S.Ag., saat melepas anak sulungnya untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Internasional Afrika di Sudan pada tahun ajaran 2013 lalu. Saat melepas anak pertamanya alumni Pesantren DDI Mangkoso yang kini menjabat Kepala Bidang Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulsel, merasakan, dua perasaan yang berbeda menyatu di hatinya. Perasaan bahagia dan bangga melihat ketulusan anaknya menuntut ilmu nun jauh di negeri orang namun di satu sisi hatinya juga tak mampu menyembunyikan keterharuannya melepas anak yang dicintai.
“Saya memang merasakan juga kesedihan waktu melepas anak saya. Terlintas di pikiran saya tidak akan bertemu dengan anak untuk beberapa lama. Namun, pengorbanan seorang istri atau ibu dari seorang anak memang sungguh lebih berat lagi. Luar biasa memang pengorbanan seorang istri.  Dia yang mengandung, melahirkan, merawat sabang hari tiba-tiba harus berpisah dalam kurung waktu yang cukup lama,” ungkap H. Kaswad Sartono mengenang.
Perasaan pasangan suami istri ini tentu saja menjadi kenangan yang teramat manis di dalam lembaran kehidupan rumah tangganya. Pasalnya, seorang anak memang selalu menjadi kebanggaan bagi orang tuanya, di tubuhnya mengalir sebahagian dari jiwa ayahnya dan sebahagian lagi tersemai jiwa ibunya. Dialah pemersatu antara jiwa yang berbeda sebagaimana yang terikrar saat pernikahan dahulu.
Menurut Dr. Kaswad, pengorbanan seorang istri terhadap keluarganya, suami dan anak-anaknya memang sungguh luar biasa besarnya. Suami istri adalah ibarat satu pasang yang berasal dari dua insan yang berbeda karakter dan keinginannya, yang kemudian dipersatukan. Apalagi, jika keduanya berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda kehidupan sosial dan budayanya, tentu saja pengorbanan satu sama lainnya tidak bisa terukur.
“Mustahil kita mampu membangun keluarga sakina tanpa disertai perjuangan dan pengorbanan,” tandasnya.
Bagi seorang istri lanjutnya, sejak awal pernikahan mereka pada umumnya sudah merasakan pengorbanan  itu, kemudian saat  mengandung hingga melahirkan makin bertambahlah pengorbanan itu sehingga agama membahasakan  “susah di atas susah”. “Jadi membangun keluarga itu suatu perjuangan. Mustahil keluarga sakinah bisa terwujud tanpa ada pengorbanan dari kedua belah pihak, suami sitri,” tambahnya.
Diakuinya, setiap keluarga memiliki pengalaman tersendiri di dalam membangun rumah tangga sakinah. Tak ada keluarga yang tidak memiliki problem. Hanya saja mereka yang mampu mempertahankan keutuhan keluarga adalah yang mampu menghilangkan keegoannya, masing-masing mempertahankan prinsipnya, ingin menang sendiri. Padahal, mereka yang mampu mempertahankan keluarganya sampai titik penghabisan jika mereka berhasil mengatasi problem. Kenyataan sekarang, banyak keluarga yang begitu menghadapi masalah langsung ke pengadilan.
Padahal, lanjut Dr. Kaswad, dalam teori keluarga sakinah dikenal istilah manajemen konflik. Disinilah dibutuhkan keterbukaan. Kedua pihak harus memiliki kesabaran.
Dalam membangun rumah tangga sakinah, Dr. Kaswad memiliki pengalaman menarik sepanjang menapaki hidup dengan istrinya, Hj. Suryani yang kini telah dikarunia empat anak. Pernikahan kedua insan ini ibaratnya mempertemukan dua sisi yang bertolak belakang. Istrinya berasal dari keluarga saudagar Bugis di Sidrap sementara dirinya seorang musafir dari tanah jawa yang tengah menuntut ilmu di pesantren. Dengan latar belakang saudagar seharusnya kehidupan rumah tangganya tidak diwarnai dengan kesulitan, namun kenyataan berbicara lain,  justru kehidupan rumah tangganya diwarnai dengan perjuangan yang dimulai dari nol besar. Istrinya waktu itu baru tamat Aliyah, sementara Kaswad muda waktu itu belum terangkat sebagai PNS. Pendidikan S1 pun belum diselesaikan sekalipun sudah mengikuti KKN. Pekerjaannya waktu itu adalah imam masjid dan mengajar di madrasah Diniyah. Istrinya juga sebetulnya salah seorang muridnya saat mengajar di Aliyah. Hanya saja waktu itu sama sekali tidak membayangkan kalau muridnya yang selalu juara kelas belakangan jadi jodohnya.
Dr. Kaswad mengakui, pengorbanan istrinya memang tak ada tandingannya. Dari awal sudah mengorbankan perasaannya demi suami dan anak-anaknya. Dengan latar belakang keluarga yang sudah mapan ekonominya tentu saja tak perlulah hidup susah. Tapi begitulah kenyataannya. Setelah menikah keduanya segera ke Kota Makassar. Kalau di kota kelahirannya, sang istri sudah terbiasa tidur di rumah besar dengan kasur empuk, kemana-mana diantar jemput dengan mobil, maka di Makassar dia menempati sebuah kamar kos di Jalan Mannuruki VII. Di kamar itulah dia tidur dengan kasur tanpa ranjang, disitu pula memasak, mencuci pakaian dan menerima tamu.
“Saya memahami betul perasaan istri saya yang begitu ikhlas dan mau mengorbankan perasaannya,” ungkapnya.
Pengorbanan lain yang juga tak terlupakan adalah ketika Dr. Kaswad diterima jadi PNS. Waktu itu istrinya sangat ingin mengungkapkan rasa syukurnya sehingga merelakan kalungnya dijual.*

Jurlan Em Saho’as

Tidak ada komentar:

Posting Komentar