Hj.
Andi Dalima Makkarodda
TIDAK TAMAT SD
MELAHIRKAN PROFESOR
“Kalau ke sekolah,
lalu melihat mangga
lebat buahnya,
jangan kamu lempar, gelap hatimu jadinya”.
Menjadikan cemohan sebagai cambuk dalam hati.
Itulah Hj. Andi Dalima Makkarodda (69 thn). Ia tak pernah sakit hati, tertusuk
dengan kata-kata perih, sindiran tetangga dan ledekan keluarga dekat sekalipun.
Ia sering diledek lantaran memiliki banyak anak, jumlahnya sebelas, ya ibarat
tim sepakbola, satu kesebelasan. Bukan hanya sampai disitu, bersama suami, H.
Andi Muhammad Ali Yusuf (75 thn), ia bertekat menyekolahkan anak-anaknya hingga
semuanya meraih sarjana, padahal waktu itu ia dianggap tidak punya apa-apa,
tidak memiliki uang banyak. Namun, hatinya yang sudah tercambuk dengan cemohan
membuatnya terpicu dan makin tegar menghadapi setiap kesulitan dan kesusahan,
hingga akhirnya ia berhasil mewujudkan cita-citanya, kesebelas anaknya mampu
disekolahkan hingga ke perguruan tinggi, bahkan anak sulungnya sudah berhasil
meraih predikat guru besar, seorang professor yang mengabdikan diri pada
almamaternya kini, di Fakultas Kedokteran Gigi Unhas. Jadilah ia, sosok perempuan
yang tidak tamat SR (setingkat SD di zaman Belanda dahulu) melahirkan seorang
anak yang berpredikat “professor”.
Memang, tidak banyak orang yang mampu
melakoni kehidupan sebagaimana yang diperankan pasangan suami-istri asal
Bulukumba ini. Satu kata dengan hati, satu ucapan dengan perbuatan. Banyak anak, banyak rezeki. Hj. Andi Dalima dan
H. Andi Muhammad telah mampu membuktikan. Kesebelas anaknya telah menyelesaikan
pendidikannya hingga jenjang perguruan tinggi. Selain anak sulungnya
berpredikat professor, dua anaknya telah bertitel doktor (S3) dan satu lagi
tengah persiapan promosi (kandidat) doktor sedang tiga lainnya sudah merampungkan
pendidikan program pascasarjana (S2). Mereka mengabdikan diri dalam berbagai
bidang sesuai disiplin ilmu dan keahlian yang ditekuni. sebagai dosen dan pengusaha. Istimewanya lagi, semua anaknya tidak hanya
sukses dalam studi tapi juga sukses dalam pengabdian dan pekerjaan yang
ditekuni, baik yang berprofesi dosen (pendidik) maupun yang menekuni dunia
usaha.
“Kalau ke sekolah, lalu melihat mangga lebat
buahnya, jangan kamu lempar, gelap hatimu jadinya,” ungkap Hj. Andi Dalima
Makkarodda didampingi suami, H. Andi Muhammad Ali Yusuf, saat ditemui MAMAKU di
rumah putri sulungnya, Kompleks
Perumahan Dosen Blok N Baru No.2 Tamalanrea, Makassar. Pasangan peraih juara
I Keluarga
Sakinah Sulsel 2014 yang berhasil masuk lima besar di tingkat nasional ini
mengaku tidak punya doa dan wirid khusus di dalam mendidik dan membesarkan
anak-anaknya. Ia hanya selalu memberi wejangan, agar jangan lalai memelihara
hati, menjaga perut, agar tidak sembarang mengisi makanan dan minuman yang tidak halal. Makanan dan minuman yang haram
akan menjadikan hati gelap, begitu pula dengan ilmu yang diperoleh bisa saja tidak berberkah
dan tidak membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang banyak. Itu,
dilakukan perempuan kelahiran Tanete, 31 Desember 1954, kepada semua anaknya
semasa masih kanak-kanak hingga dewasa.
Selain menjaga hati dari makanan yang dapat
membuatnya gelap, Hj. Andi Dalima juga tidak pernah lalai mengisi jiwa
anak-anaknya dengan pendidikan agama, akhlak mulia (ampe-ampe madeceng dalam Bahasa Bugis Red), mengaji membaca dan
berhitung. Ia berdua dengan suami bergantian melakukan itu dengan jadwal ketat,
yaitu sesudah shalat subuh dan seusai shalat Magrib hingga Isa. Semua anaknya
“diwajibkan” sudah khatam Al Qur’an 30
juz begitu duduk di kelas III SD. Dan, tak seorang pun anaknya yang berani
melanggar, semuanya menamatkan bacaannya begitu duduk di kelas III.
“Saya sengaja memilih kedua waktu itu,
sehabis maghrib dan seusai shalat Subuh. Mereka tidak boleh makan sebelum
mengaji, karena kalau sudah kenyang sudah pasti tidak mampu lagi belajar
sesudah Isa. Mereka sudah mengantuk,” kata Hj. Andi Dalima.
Dalam konteks mendidik anak, ia mengaku
sangat keras dan lebih banyak menegur dibanding suaminya yang memang penyabar
dan senantiasa bersikap tenang. Hanya saja diakui pula, bahwa ia tak pernah
memarahi anak-anaknya dengan kata-kata kasar.
“Saya keras memang untuk kebaikannya. Dan
mereka, sudah rasakan manfaatnya sekarang. Kalau lagi berkumpul dengan
keluarga, sering anak saya mengatakan, kalau mama tidak keras dahulu kita tidak
jadi orang. Lain halnya dengan bapak, ia
lebih banyak memberi pertimbangan, selalu mencarikan jalan keluar setiap
persoalan yang dihadapi anak-anak tanpa menggurui,” ujarnya.
Diakui Hj. Andi Dalima, dalam mendidik dan
membesarkan anak yang jumlahnya lebih banyak laki dari perempuan (4 perempuan,
7 laki-laki), tentu saja membutuhkan kiat tersendiri. Terutama jika mereka
sudah berkumpul, selain suasananya selalu ramai juga terkadang situasi berubah gaduh
menegangkan bila diantara anak laki-laki itu bertengkar dengan kakak atau
adiknya. Bahkan, pernah suatu ketika anaknya berkelahi dan berkejaran dengan
memegang parang. Tentu saja ia sangat marah. Dan, kalau sudah begitu anaknya
yang bertengkar tadi lari terbirit-birit meninggalkan rumah. Namun seberapa
jauh mereka menghindar, jika maghrib sudah tiba mereka pasti kembali pulang ke
rumah. Selain kesebelas anaknya, kehadiran sanak famili, seperti saudara dan
keponakan yang menumpang bersekolah menambah kesibukan Hj. Andi Dalima. Suasana
ramai tentu saja terpancar sepanjang hari dari rumah panggung yang sederhana
itu. Mereka datang bergantian bersekolah. Hj. Andi Dalima dan suaminya tentu tidak
merasa terbebani dan terusik, bahkan mereka juga diajar mengaji, seperti anak
sendiri, sehingga mereka juga jadi orang sukses, bahkan beberapa diantara
mereka yang jadi pejabat dan kepala sekolah.
Kesebelas anak pasangan suami istri yang
melangsungkan pernikahan 53 tahun silam (5 Nopember 1961) itu adalah, Hj. Prof.
DR. drg. Harlina. M.Kes., guru besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Hasanuddin, H. MUNZIER IDRIS ALI, SE, MM. (wiraswasta), H. Muchtar Ali Yusuf, pemilik dan Direktur Utama PT. Amaly Putra Timurindo, Hardiani, SE. MM., dosen Program Studi Managemen di STIEM
Bongaya, Makassar (kandidat doktor Administrasi Publik UNM), Dr. Ir. Abd.
Wahid, MP., dosen di Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Dr. Mursalim, SE., pemilik dan Direktur
Utama PT. Salim Utama Mandiri (PT. SUMMA), Muhammad Yusuf, ST. ( Wiraswasta), Nurnadiyah,
MT.Hi, Wiraswasta, Abd. Rasyid., wiraswasta,
Muhammad Ishak, (wiraswasta) dan Nurwahidah, SP., (wiraswasta).
Menurut Hj. Andi Dalima, anak-anak harus
dibekali agama yang kuat. Mereka sudah diajari mengaji dan menegakkan shalat
sejak dini. Mereka dibiasakan shalat lima waktu berjamaah. Mereka juga harus
diajari pengetahuan umum, terutama membaca dan berhitung. Hanya dengan
pendidikan yang memadai orang bisa mengubah hidupnya. Seseorang mampu melepaskan
diri dari kemiskinan dan ketak-berdayaan jika memiliki kemampuan membaca dan menguasai
ilmu pengetahuan yang tinggi, terlebih lagi jika dikuatkan dengan agama, maka
sangat besar peluangnya untuk meraih kesuksesan dunia dan akhirat.
“Saya punya pengalaman, betapa susahnya hidup
dengan pendidikan rendah, tidak tamat SD. Suami juga tidak tamat SMA. Itulah
dasarnya hingga saya bertekat menyekolah mereka minimal meraih sarjana. Jika
pendidikannya tinggi peluang mereka jauh lebih besar untuk hidup layak dan lebih baik dari kondisi
ekonomi orang tuanya,” tandasnya.
Perhatian terhadap pengetahuan agama putri
seorang ulama kharismatik K. H. Andi Makkarodda ini, juga terlihat pada ketiga
anaknya yang disekolahkan di Pesantren Darul Dakwah Wal Irsyad (DDI) Mangkoso
Kabupaten Barru. Bahkan salah seorang dari ketiga anaknya itu, Nurnadiyah,
MT.Hi, dikenal sebagai hafidz Al Qur’an dan qariah nasional. Anak kedelapan ini
sempat jadi dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar beberapa tahun hingga akhirnya memilih
berwiraswasta. Sama dengan kedua adiknya yang alumni DDI Mangkoso, Abd. Rasyid dan Nurwahidah, SP., (wiraswasta)
juga menekuni dunia usaha.
Menyebut dunia usaha, boleh jadi, jiwa
wiraswasta (intrepreneur) pasangan suami
istri yang hingga kini tetap menekuni usaha “jualan” (mengedepankan amal kebajikan Red.) mengalir pula kedalam
jiwa puta-putrinya, sehingga dari sebelas anaknya hanya tiga diantaranya yang
mengabdi sebagai dosen, lainnya menekuni dunia usaha yang juga beberapa orang
diantaranya sudah jadi pengusaha sukses dengan perusahaan yang didirikan
sendiri.
Kesuksesan yang diraih anak-anaknya menjadi
bukti nyata dari ucapannya sekaligus mewujudkan tekatnya menyekolahkan sampai
ke perguruan tinggi. Kesuksesan itu juga membuktikan bahwa pendidikanlah yang
mampu memperbaiki kehidupan seseorang, pendidikanlah yang dapat mengantar
seseorang untuk hidup layak dan lebih baik dari sebelumnya, apalagi jika
dilandasi dengan amalan agama yang kokoh. Ledekan dan sindiran yang dilontarkan
tetangga dan keluarganya dahulu pun akhirnya tertepis dengan sendirinya.
Dan begitulah, sebuah proses pergumulan hidup
pasangan suami istri, Hj. Andi Dalima dan H. Andi Muhammad dalam mendidik dan mengantar anak-anaknya
mengecap pendidikan hingga ke perguruan tinggi telah menuai hasil. Ia melakukan
dengan penuh pengorbanan dan perhitungan yang matang. Setelah membekali
anak-anaknya dengan pengetahuan agama dan perhitungan, ia pun mengirim
anak-anaknya ke Makassar begitu tamat SD atau SMP guna mendapatkan pendidikan
yang lebih baik. Ia memang berpikir, bahwa
pendidikan di kota jauh lebih baik
dari desa, maka begitu si sulung putrinya, Harlina, tamat di SMP Negeri 60
Tanete pada tahun 1977, ia pun membawanya ke Makassar untuk bersekolah di SMA
Negeri 1, disusul anak kedua (Munzier Idris Ali) yang lebih cepat,
karena baru tamat SD (1976) sudah diantar ke Makassar dan dimasukkan di
Madrasah Tsanawiyah Pesantren IMMIM dan tamat di SMA Negeri 3 (1983). Dan
begitulah seterusnya, susul menyusul hingga kesebelas anaknya semuanya
bersekolah di Makassar.
Untuk menghemat biaya, anak-anak itu awalnya
dititip numpang di rumah keluarga dekat yang juga tidak jauh dari sekolah,
namun hanya setahun kemudian ia berhasil membeli sebidang tanah di Jalan Kumala II Pa’baeng-baeng. Di atas
lahan itulah ia membangun secara bertahap sebuah rumah yang dapat menaungi
anak-anaknya dan sanak keluarga yang juga bermaksud melanjutkan pendidikannya
di kota. Selain itu, suami istri ini akan lebih mudah mengontrol anak-anaknya
dan tidak lagi repot mencari tumpangan bila ke Makassar berbelanja untuk
kebutuhan toko.
Langkah yang diambil pasangan suami istri
yang kini usia pernikahannya memasuki usia ke-53 memang sudah dipertimbangkan
matang dan penuh perhitungan. Selain anak-anaknya dapat mengecap pendidikan
yang lebih baik juga mereka diajari hidup mandiri dan mampu memperhitungkan
setiap langkahnya. Selain itu, dengan jauh dari orang tua maka tanpa sengaja
mereka juga diajari untuk percaya diri
dan senantiasa komitmen dengan diri sendiri, bersikap jujur dan malu jika tidak
sukses meraih cita-cita.
Lalu, bagaimana dengan suka duka membangun
rumah tangga sakinah pasangan suami istri yang tetap betah tinggal di kampung
halaman kendati pun semua anaknya sudah berada di Makassar ? Menurut Hj. Andi
Dalima, pernikahan dengan suaminya, H.
Andi Muhammad, adalah pernikahan keluarga, keduanya dijodohkan oleh H. Andi Abd
Syukur, keluarga besar yang masih turunan bangsawan bergelar “Karetta”, seorang
Raja yang memerintah di masa itu. Ia dipinang dengan mahar sebidang sawah. Keduanya
masih terbilang keluarga dekat. Hanya saja, kedua orang tua Andi Muhammad tidak
sempat hadir lantaran situasi keamanan yang dikacaukan gerombolan Di-TII
sehingga sulit menembus masuk perbatasan Sinjai-Bulukumba, sementara dari pihak
Andi Dalima hanya disaksikan oleh ibunya, Hj. Bica, berhubung ayahnya (H.
Karaeng Makkarodda) telah meninggal dunia lima bulan sebelum pernikahan
dilangsungkan.
“Kami berdua tidak pernah ketemu sebelumnya,”
ungkapnya.
Diakui, dalam membangun rumah tangga keduanya
menjalin sikap saling memahami, saling menghargai dan sabar dalam menghadapi
setiap kesulitan. Kendatipun Hj. Andi Dalima memiliki karakter tipe orang keras
namun sepanjang perjalanan rumah tangganya tidak pernah ada pertengkaran yang
menyebabkan keduanya tidak saling menyapa. Kalaupun terjadi beda pendapat ia
memilih diam daripada melontarkan kata-kata yang dapat menyakiti hati suami.
Begitu pula sebaliknya, suami yang memang pembawaannya tenang lebih memilih
diam bila sang Istri tampak marah. Biasanya, jika terjadi ketegangan diantara
keduanya, sang suami mencari waktu yang tepat untuk mendiskusikan dan mencari
jalan keluar dari persoalan yang dihadapi.
Soal kondisi ekonomi keluarga diakui Hj. Andi
Dalima memang sejak awal memasuki kehidupan rumah tangga kondisinya tidaklah
terlalu parah dibanding orang lain yang
hidup serba tidak mencukupi di zaman yang memang serba susah waktu itu. Sebelum
menikah, suaminya sudah bekerja di Toko Petani, sebuah toko milik orang yang
menikahkannya, Kr. Beddu Syukur, yang menjual segala kebutuhan petani yang
cukup berkembang pesat. Dua tahun mengumpul sedikit demi sedikit sisa gaji
setiap bulan akhirnya mampu membeli sebidang tanah seluas 2.500 m2 seharga Rp
30.000, lalu selang beberapa bulan sudah berdiri rumah kayu di atasnya yang
juga dibelinya seharga Rp 100.000. Di rumah inilah lahir putri pertamanya, pada
hari Jumat 18 Januari 1963, yang diberi nama Harlina, nama yang diabadikan kepada
seorang perempuan terkenal yang gemar berkeliling Indonesia kala itu, dengan
harapan putrinya kelak bisa mengelilingi tanah air tercinta ini. Sembilan anaknya
yang lain juga lahir di rumah ini.
Badai ujian pertama dalam rumah tangga suami
istri dimulai saat toko yang dipercayakan kepadanya makin hari makin maju. Sang
suami memang memiliki kemahiran tersendiri dalam berdagang, sehingga berkenalan
dengan pedagang Tionghoa yang memberinya kepercayaan untuk mengambil barang
seberapa banyak pun yang pembayarannya dilakukan setelah barang laku terjual.
Keuntungan pun makin mengalir deras bersamaan dengan pasokan barang ke toko
lain. Namun, suatu ketika terjadi fitnah, H. Andi Muhammad diberhentikan tanpa
pesangon, padahal siang itu ia baru saja beristirahat sekembali dari Makassar
membeli barang yang ditempuh berhari-hari. Akhirnya pergumulan pun dimulai
kembali dari nol besar.
Sebagai pasangan suami istri yang masing-masing
sudah ditempa dengan agama yang kuat, maka ujian pahit menggetirkan tanpa
tabungan dan warisan itupun dilaluinya dengan kebesaran jiwa, hingga mampu
terlewatkan bahkan membuatnya makin
tegar. Ia, bahkan kembali mampu membeli lahan sawah, kebun, perhiasan emas dan
membuka toko sendiri yang diberi nama toko Muda, singkatan nama Muhammad dan
Dalima. Seiring dengan makin besarnya kebutuhan anak-anaknya yang sudah satu
per satu disekolahkan di Kota Makassar dan demi masa depan anak-anaknya suami
istri ini pun rela menjual satu per satu harta miliknya, termasuk perhiasan
emas yang sengaja dikumpul secara diam-diam sampai 200 gram, tanpa diketahui
suami, juga dijual habis, apalagi toko miliknya juga sudah mulai redup
perlahan.
Di usia yang sudah makin mendekati senja,
seharusnya pasangan suami isteri ini tinggal menikmati jerih payahnya, namun ia
tak melakukan itu, ia tetap berjualan “jamu” untuk membantu orang-orang yang
kena penyakit seperti cacar, tipes dan gangguan pencernaan.
“Anak-anak kami memang mengharapkan istrahat
saja, namun kami tak ingin membebani mereka karena kalau sudah berumah tangga
sudah pasti punya tanggung jawab. Kami merasa bahagia, anak-anak sudah
berhasil,” tandasnya semangat.*
Laporan Jurlan
Em Saho’as