Rabu, 01 Oktober 2014

Prof. DrJANGAN MEMILIH RUMPUT HIJAU YANG TUMBUH DARI TAHI KERBAU



Prof. Dr. K.H. Sanusi Baco, LC.
“JANGAN MEMILIH RUMPUT HIJAU
YANG TUMBUH DARI TAHI KERBAU”
 

Kebahagiaan. Semua orang merindukan itu. Terlebih lagi, bagi mereka yang sudah memasuki kehidupan rumah tangga, kebahagiaan menjadi cita-cita bersama antara suami-istri yang dikuatkan dengan ikatan tali pernikahan. Hanya saja, terkadang kebahagiaan di mata setiap orang berbeda-beda. Ada yang menganggap kebahagiaan itu bisa terwujud melalui harta benda, perhiasan, rumah mewah, mobil mewah, istri cantik, suami ganteng atau lewat kekuasaan dan jabatan yang tinggi. Namun, ternyata semua itu bukanlah ukuran dan penentu dalam menikmati kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun harta benda yang melimpah dan wajah yang cantik atau ganteng dapat membuat seseorang merasa senang dan bahagia, boleh jadi kebahagiaan itu hanya sesaat, tidak langgeng. Kenyataan yang hampir sabang hari kita saksikan di layar televisi, kita baca di halaman berbagai media cetak atau mungkin saja kita saksikan langsung di sekitar lingkungan mukim kita, berbagai kasus rumah tangga yang berakhir dengan perceraian. Betapa banyak orang yang berhasil memimpin perusahaan besar tapi gagal dalam membina rumah tangganya. Betapa banyak politisi yang sukses memimpin partai besar tapi rumah tangganya berantakan. Kebahagiaan makin jauh dari keluarganya, padahal dia sudah memiliki kekayaan dan jabatan yang membuatnya dihormati  dan disegani.
Prof. Dr. K.H. Sanusi Baco, LC., Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan tiga periode dan Rois Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Sulsel dua periode, kepada MAMAKU yang menyambangi di rumahnya Jalan Kelapa Tiga Makassar mengatakan, kebahagiaan rumah tangga itu bukanlah terletak semata-mata pada harta benda, istri yang cantik dan kemewahan lainnya, tapi kebahagiaan itu dapat dirasakan bila kita mampu menikmati ketenangan jiwa di tengah keluarga dan di saat  bersujud kepada Allah SWT.
Menurut Kiai Sanusi, kebahagiaan itu tidak bisa diukur semata-mata dari harta benda yang melimpah. Betapa banyak negara yang kaya raya, seperti Jepang dan Amerika, tapi warganya banyak yang bunuh diri dan stress. Jadi orang gila dan dirundung kegelisahan hati.
Mengambil kisah nyata dari pertanyaan seorang mahasiswa kepada seorang guru besar ketika kuliah di Al Azhar Kairo, Kiai Sanusi menuturkan bahwa ada seorang suami yang berhasil sukses membangun ekonomi keluarganya dari nol. Saat itu dia membangun rumah besar bak istana dan saat akan rampung ia meminta kepada tukangnya, agar dibuatkan satu kamar lagi. Namun, si tukang kembali bertanya untuk apa kamar yang satu itu sementara bangunan rumah sudah hampir rampung.
Singkat cerita, lanjutnya, setelah rumah itu rampung si suami yang memegang sendiri kunci kamar. Setiap kali berada dalam kamar dia menguncinya. Begitu pula saat keluar, kamar itu dikunci. Tak ada seorang pun yang bisa masuk ke dalamnya. Akhirnya suatu hari, istri dan anak-anaknya tak tahan lagi dari rasa ingin tahu dan penasaran untuk segera menanyakan kepada laki-laki itu. Maka pada suatu malam, orang tua itu memperlihatkan dan member tahu kepada istri dan anaknya bahwa sengaja ia mengunci pintu itu karena di dalam ada tersimpan empat jenis barang yang sangat berharga, yaitu selembar kemeja yang sudah using digantung ditembok, lampu minyak, tikar tua dan cebokan. Keempat barang itu mengingatkan selalu di saat miskin dahulu sehingga setiap kali melihatnya  hatinya terdorong segera berwudhu dan sujud kepada Allah SWT. Pada saat itulah dia merasakan kebahagiaan yang luar biasa, bukan karena rumah yang besar dan mewah tapi justru kemeja yang sudah usang dan barang lainnya yang mengingatkannya untuk bersyukur dan bersujud lebih dekat kepada Allah SWT.
Menurut Kiai kharismatik yang mendapat gelar doktor dalam bidang hukum Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar dan juga menjabat Ketua Yayasan Masjid Raya Makassar, di dalam memilih istri hendaknya kita tidak terjebak dengan kulit  luarnya saja.  Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan ummatnya dalam sebuah hadisnya, bahwa ada empat unsur sumber datangnya kebahagiaan, yaitu istri yang saleh, anak yang saleh, rumah yang lapang dan tetangga yang baik. “Perkataan istri yang saleha dapat membuat suami dan anak-anaknya merasakan kebahagiaan, sehingga Nabi memerintahkan kawinilah perempuan yang baik budi pekertinya dan subur (banyak anaknya),” katanya.
Bahkan dalam hadis yang lain, kata pembina utama Pesantren Nahdlatul Ulum Maros, Nabi juga  mengingatkan agar ummatnya menikahi wanita dengan empat pertimbangan, yaitu karena hartanya, kecantikannya, keturunannya dan agamanya. Namun jika ingin memperoleh kebahagiaan maka pilihlah yang baik agamanya.
“Hadis itu dilanjutkan Nabi dengan  perkataan, saya ingatkan kalian, kata Nabi, jangan sampai memilih rumput yang hijau tapi  tumbuh dari tahi kerbau,” ucapnya mengutip terjemahan sebuah hadis Nabi.
Kisah lain tentang kemuliaan seorang istri dari ucapannya yang begitu indah dan menyejukkan hati saat suaminya terlihat murung durjana juga dikemukakan Kiai Sanusi dalam melengkapi perbincangannya dengan MAMAKU, tersebutlah seorang istri yang segera bertanya kepada suaminya yang tengah bersedih. Sang istri itu berkata, bahwa wahai suamiku apa gerangan yang membuatmu begitu bersedih, apakah engkau memikirkan tempatmu kelak di surga sementara saya  berada di neraka, atau sebaliknya saya berada dalam surga sementara engkau ditempatkan di neraka, atau kita berdua di dalam surga sementara anak-anak kita dijerumuskan ke dalam neraka, atau sebaliknya anak-anak kita berada di surga sementara kita berdua dimasukkan dalam neraka. Jika itu yang engkau pikirkan silahkan bersedih.
Tapi sekiranya, urai Kiai Sanusi melanjutkan, engkau memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari maka sesungguhnya saya tidak pernah membebanimu lebih dari kemampuanmu.
“Luar biasa ucapan sang istri di dalam menghibur dan memahami kesedihan suaminya. Ketegangan rumah tangga banyak terjadi disebabkan salah satunya adalah istri mengharapkan lebih dari kemampuan suami,” kata Kiai yang pernah menjabat Rektor Universitas Al Gazali (kini Universitas Islam Makassar).
Kebahagiaan memang menjadi tujuan dari segala ajaran agama Islam, terutama terkait dengan ibadah syariah, termasuk pernikahan yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan. Karenanya, laki-laki dalam Al Qur’an disebut “Arrijaalu” yang memiliki dua makna, yaitu laki-laki dan kaki. Itu berarti, seorang laki-laki dikatakan sudah mampu jika dia sudah mampu berdiri tegak, dalam arti memiliki kekuatan daya dan dana, sehingga seorang suami memiliki tanggung jawab melindungi, tempat bernaung dan bersandar istri yang dinikahi.*

Laporan Jurlan Em Saho’as  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar