Powered By Blogger

Rabu, 01 Oktober 2014

TIDAK TAMAT SD MELAHIRKAN PROFESOR

Hj. Andi Dalima Makkarodda
TIDAK TAMAT SD

MELAHIRKAN PROFESOR


“Kalau ke sekolah,
lalu melihat mangga lebat buahnya,
 jangan kamu lempar, gelap hatimu jadinya”.

Menjadikan cemohan sebagai cambuk dalam hati. Itulah Hj. Andi Dalima Makkarodda (69 thn). Ia tak pernah sakit hati, tertusuk dengan kata-kata perih, sindiran tetangga dan ledekan keluarga dekat sekalipun. Ia sering diledek lantaran memiliki banyak anak, jumlahnya sebelas, ya ibarat tim sepakbola, satu kesebelasan. Bukan hanya sampai disitu, bersama suami, H. Andi Muhammad Ali Yusuf (75 thn), ia bertekat menyekolahkan anak-anaknya hingga semuanya meraih sarjana, padahal waktu itu ia dianggap tidak punya apa-apa, tidak memiliki uang banyak. Namun, hatinya yang sudah tercambuk dengan cemohan membuatnya terpicu dan makin tegar menghadapi setiap kesulitan dan kesusahan, hingga akhirnya ia berhasil mewujudkan cita-citanya, kesebelas anaknya mampu disekolahkan hingga ke perguruan tinggi, bahkan anak sulungnya sudah berhasil meraih predikat guru besar, seorang professor yang mengabdikan diri pada almamaternya kini, di Fakultas Kedokteran Gigi Unhas. Jadilah ia, sosok perempuan yang tidak tamat SR (setingkat SD di zaman Belanda dahulu) melahirkan seorang anak yang berpredikat  “professor”.
Memang, tidak banyak orang yang mampu melakoni kehidupan sebagaimana yang diperankan pasangan suami-istri asal Bulukumba ini. Satu kata dengan hati, satu ucapan dengan perbuatan.  Banyak anak, banyak rezeki. Hj. Andi Dalima dan H. Andi Muhammad telah mampu membuktikan. Kesebelas anaknya telah menyelesaikan pendidikannya hingga jenjang perguruan tinggi. Selain anak sulungnya berpredikat professor, dua anaknya telah bertitel doktor (S3) dan satu lagi tengah persiapan promosi (kandidat) doktor sedang tiga lainnya sudah merampungkan pendidikan program pascasarjana (S2). Mereka mengabdikan diri dalam berbagai bidang sesuai disiplin ilmu dan keahlian yang ditekuni.  sebagai dosen dan pengusaha.  Istimewanya lagi, semua anaknya tidak hanya sukses dalam studi tapi juga sukses dalam pengabdian dan pekerjaan yang ditekuni, baik yang berprofesi dosen (pendidik) maupun yang menekuni dunia usaha.
“Kalau ke sekolah, lalu melihat mangga lebat buahnya, jangan kamu lempar, gelap hatimu jadinya,” ungkap Hj. Andi Dalima Makkarodda didampingi suami, H. Andi Muhammad Ali Yusuf, saat ditemui MAMAKU di rumah putri sulungnya,  Kompleks Perumahan Dosen Blok N Baru No.2 Tamalanrea, Makassar. Pasangan  peraih  juara I  Keluarga  Sakinah  Sulsel 2014  yang  berhasil  masuk lima besar di tingkat nasional ini mengaku tidak punya doa dan wirid khusus di dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Ia hanya selalu memberi wejangan, agar jangan lalai memelihara hati, menjaga perut, agar tidak sembarang mengisi makanan dan minuman yang  tidak halal. Makanan dan minuman yang haram akan menjadikan hati gelap, begitu pula dengan  ilmu yang diperoleh bisa saja tidak berberkah dan tidak  membawa manfaat  bagi diri sendiri dan orang banyak. Itu, dilakukan perempuan kelahiran Tanete, 31 Desember 1954, kepada semua anaknya semasa masih kanak-kanak hingga dewasa.
Selain menjaga hati dari makanan yang dapat membuatnya gelap, Hj. Andi Dalima juga tidak pernah lalai mengisi jiwa anak-anaknya dengan pendidikan agama, akhlak mulia (ampe-ampe madeceng dalam Bahasa Bugis Red), mengaji membaca dan berhitung. Ia berdua dengan suami bergantian melakukan itu dengan jadwal ketat, yaitu sesudah shalat subuh dan seusai shalat Magrib hingga Isa. Semua anaknya “diwajibkan”  sudah khatam Al Qur’an 30 juz begitu duduk di kelas III SD. Dan, tak seorang pun anaknya yang berani melanggar, semuanya menamatkan bacaannya begitu duduk di kelas III.
“Saya sengaja memilih kedua waktu itu, sehabis maghrib dan seusai shalat Subuh. Mereka tidak boleh makan sebelum mengaji, karena kalau sudah kenyang sudah pasti tidak mampu lagi belajar sesudah Isa. Mereka sudah mengantuk,” kata Hj. Andi Dalima.
Dalam konteks mendidik anak, ia mengaku sangat keras dan lebih banyak menegur dibanding suaminya yang memang penyabar dan senantiasa bersikap tenang. Hanya saja diakui pula, bahwa ia tak pernah memarahi anak-anaknya dengan kata-kata kasar.
“Saya keras memang untuk kebaikannya. Dan mereka, sudah rasakan manfaatnya sekarang. Kalau lagi berkumpul dengan keluarga, sering anak saya mengatakan, kalau mama tidak keras dahulu kita tidak jadi orang.  Lain halnya dengan bapak, ia lebih banyak memberi pertimbangan, selalu mencarikan jalan keluar setiap persoalan yang dihadapi anak-anak tanpa menggurui,” ujarnya.
Diakui Hj. Andi Dalima, dalam mendidik dan membesarkan anak yang jumlahnya lebih banyak laki dari perempuan (4 perempuan, 7 laki-laki), tentu saja membutuhkan kiat tersendiri. Terutama jika mereka sudah berkumpul, selain suasananya selalu ramai juga terkadang situasi berubah gaduh menegangkan bila diantara anak laki-laki itu bertengkar dengan kakak atau adiknya. Bahkan, pernah suatu ketika anaknya berkelahi dan berkejaran dengan memegang parang. Tentu saja ia sangat marah. Dan, kalau sudah begitu anaknya yang bertengkar tadi lari terbirit-birit meninggalkan rumah. Namun seberapa jauh mereka menghindar, jika maghrib sudah tiba mereka pasti kembali pulang ke rumah. Selain kesebelas anaknya, kehadiran sanak famili, seperti saudara dan keponakan yang menumpang bersekolah menambah kesibukan Hj. Andi Dalima. Suasana ramai tentu saja terpancar sepanjang hari dari rumah panggung yang sederhana itu. Mereka datang bergantian bersekolah. Hj. Andi Dalima dan suaminya tentu tidak merasa terbebani dan terusik, bahkan mereka juga diajar mengaji, seperti anak sendiri, sehingga mereka juga jadi orang sukses, bahkan beberapa diantara mereka yang jadi pejabat dan kepala sekolah.
Kesebelas anak pasangan suami istri yang melangsungkan pernikahan 53 tahun silam (5 Nopember 1961) itu adalah, Hj. Prof. DR. drg. Harlina. M.Kes., guru besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, H. MUNZIER IDRIS ALI, SE, MM. (wiraswasta), H. Muchtar Ali Yusuf, pemilik dan Direktur Utama PT. Amaly Putra Timurindo, Hardiani, SE. MM., dosen Program Studi Managemen di STIEM Bongaya, Makassar (kandidat doktor Administrasi Publik UNM), Dr. Ir. Abd. Wahid, MP., dosen di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Dr. Mursalim, SE., pemilik dan Direktur Utama PT. Salim Utama Mandiri (PT. SUMMA), Muhammad Yusuf, ST. ( Wiraswasta), Nurnadiyah, MT.Hi, Wiraswasta, Abd. Rasyid., wiraswasta, Muhammad Ishak, (wiraswasta) dan Nurwahidah, SP., (wiraswasta).
Menurut Hj. Andi Dalima, anak-anak harus dibekali agama yang kuat. Mereka sudah diajari mengaji dan menegakkan shalat sejak dini. Mereka dibiasakan shalat lima waktu berjamaah. Mereka juga harus diajari pengetahuan umum, terutama membaca dan berhitung. Hanya dengan pendidikan yang memadai orang bisa mengubah hidupnya. Seseorang mampu melepaskan diri dari kemiskinan dan ketak-berdayaan jika memiliki kemampuan membaca dan menguasai ilmu pengetahuan yang tinggi, terlebih lagi jika dikuatkan dengan agama, maka sangat besar peluangnya untuk meraih kesuksesan dunia dan akhirat.
“Saya punya pengalaman, betapa susahnya hidup dengan pendidikan rendah, tidak tamat SD. Suami juga tidak tamat SMA. Itulah dasarnya hingga saya bertekat menyekolah mereka minimal meraih sarjana. Jika pendidikannya tinggi peluang mereka jauh lebih besar  untuk hidup layak dan lebih baik dari kondisi ekonomi orang tuanya,” tandasnya.
Perhatian terhadap pengetahuan agama putri seorang ulama kharismatik K. H. Andi Makkarodda ini, juga terlihat pada ketiga anaknya yang disekolahkan di Pesantren Darul Dakwah Wal Irsyad (DDI) Mangkoso Kabupaten Barru. Bahkan salah seorang dari ketiga anaknya itu, Nurnadiyah, MT.Hi, dikenal sebagai hafidz Al Qur’an dan qariah nasional. Anak kedelapan ini sempat jadi dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar  beberapa tahun hingga akhirnya memilih berwiraswasta. Sama dengan kedua adiknya yang alumni DDI  Mangkoso, Abd. Rasyid dan Nurwahidah, SP., (wiraswasta) juga menekuni dunia usaha.
Menyebut dunia usaha, boleh jadi, jiwa wiraswasta  (intrepreneur) pasangan suami istri yang hingga kini tetap menekuni usaha “jualan” (mengedepankan  amal kebajikan Red.) mengalir pula kedalam jiwa puta-putrinya, sehingga dari sebelas anaknya hanya tiga diantaranya yang mengabdi sebagai dosen, lainnya menekuni dunia usaha yang juga beberapa orang diantaranya sudah jadi pengusaha sukses dengan perusahaan yang didirikan sendiri.
Kesuksesan yang diraih anak-anaknya menjadi bukti nyata dari ucapannya sekaligus mewujudkan tekatnya menyekolahkan sampai ke perguruan tinggi. Kesuksesan itu juga membuktikan bahwa pendidikanlah yang mampu memperbaiki kehidupan seseorang, pendidikanlah yang dapat mengantar seseorang untuk hidup layak dan lebih baik dari sebelumnya, apalagi jika dilandasi dengan amalan agama yang kokoh. Ledekan dan sindiran yang dilontarkan tetangga dan keluarganya dahulu pun akhirnya tertepis dengan sendirinya.
Dan begitulah, sebuah proses pergumulan hidup pasangan suami istri, Hj. Andi Dalima dan H. Andi Muhammad  dalam mendidik dan mengantar anak-anaknya mengecap pendidikan hingga ke perguruan tinggi telah menuai hasil. Ia melakukan dengan penuh pengorbanan dan perhitungan yang matang. Setelah membekali anak-anaknya dengan pengetahuan agama dan perhitungan, ia pun mengirim anak-anaknya ke Makassar begitu tamat SD atau SMP guna mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ia memang berpikir, bahwa  pendidikan di  kota jauh lebih baik dari desa, maka begitu si sulung putrinya, Harlina, tamat di SMP Negeri 60 Tanete pada tahun 1977, ia pun membawanya ke Makassar untuk bersekolah di SMA Negeri 1, disusul anak kedua (Munzier Idris Ali) yang lebih cepat, karena baru tamat SD (1976) sudah diantar ke Makassar dan dimasukkan di Madrasah Tsanawiyah Pesantren IMMIM dan tamat di SMA Negeri 3 (1983). Dan begitulah seterusnya, susul menyusul hingga kesebelas anaknya semuanya bersekolah di Makassar.
Untuk menghemat biaya, anak-anak itu awalnya dititip numpang di rumah keluarga dekat yang juga tidak jauh dari sekolah, namun hanya setahun kemudian ia berhasil membeli sebidang tanah  di Jalan Kumala II Pa’baeng-baeng. Di atas lahan itulah ia membangun secara bertahap sebuah rumah yang dapat menaungi anak-anaknya dan sanak keluarga yang juga bermaksud melanjutkan pendidikannya di kota. Selain itu, suami istri ini akan lebih mudah mengontrol anak-anaknya dan tidak lagi repot mencari tumpangan bila ke Makassar berbelanja untuk kebutuhan toko.
Langkah yang diambil pasangan suami istri yang kini usia pernikahannya memasuki usia ke-53 memang sudah dipertimbangkan matang dan penuh perhitungan. Selain anak-anaknya dapat mengecap pendidikan yang lebih baik juga mereka diajari hidup mandiri dan mampu memperhitungkan setiap langkahnya. Selain itu, dengan jauh dari orang tua maka tanpa sengaja mereka juga diajari  untuk percaya diri dan senantiasa komitmen dengan diri sendiri, bersikap jujur dan malu jika tidak sukses meraih cita-cita.
Lalu, bagaimana dengan suka duka membangun rumah tangga sakinah pasangan suami istri yang tetap betah tinggal di kampung halaman kendati pun semua anaknya sudah berada di Makassar ? Menurut Hj. Andi Dalima,  pernikahan dengan suaminya, H. Andi Muhammad, adalah pernikahan keluarga, keduanya dijodohkan oleh H. Andi Abd Syukur, keluarga besar yang masih turunan bangsawan bergelar “Karetta”, seorang Raja yang memerintah di masa itu. Ia dipinang dengan mahar sebidang sawah. Keduanya masih terbilang keluarga dekat. Hanya saja, kedua orang tua Andi Muhammad tidak sempat hadir lantaran situasi keamanan yang dikacaukan gerombolan Di-TII sehingga sulit menembus masuk perbatasan Sinjai-Bulukumba, sementara dari pihak Andi Dalima hanya disaksikan oleh ibunya, Hj. Bica, berhubung ayahnya (H. Karaeng Makkarodda) telah meninggal dunia lima bulan sebelum pernikahan dilangsungkan.
“Kami berdua tidak pernah ketemu sebelumnya,” ungkapnya.
Diakui, dalam membangun rumah tangga keduanya menjalin sikap saling memahami, saling menghargai dan sabar dalam menghadapi setiap kesulitan. Kendatipun Hj. Andi Dalima memiliki karakter tipe orang keras namun sepanjang perjalanan rumah tangganya tidak pernah ada pertengkaran yang menyebabkan keduanya tidak saling menyapa. Kalaupun terjadi beda pendapat ia memilih diam daripada melontarkan kata-kata yang dapat menyakiti hati suami. Begitu pula sebaliknya, suami yang memang pembawaannya tenang lebih memilih diam bila sang Istri tampak marah. Biasanya, jika terjadi ketegangan diantara keduanya, sang suami mencari waktu yang tepat untuk mendiskusikan dan mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapi.
Soal kondisi ekonomi keluarga diakui Hj. Andi Dalima memang sejak awal memasuki kehidupan rumah tangga kondisinya tidaklah terlalu parah dibanding   orang lain yang hidup serba tidak mencukupi di zaman yang memang serba susah waktu itu. Sebelum menikah, suaminya sudah bekerja di Toko Petani, sebuah toko milik orang yang menikahkannya, Kr. Beddu Syukur, yang menjual segala kebutuhan petani yang cukup berkembang pesat. Dua tahun mengumpul sedikit demi sedikit sisa gaji setiap bulan akhirnya mampu membeli sebidang tanah seluas 2.500 m2 seharga Rp 30.000, lalu selang beberapa bulan sudah berdiri rumah kayu di atasnya yang juga dibelinya seharga Rp 100.000. Di rumah inilah lahir putri pertamanya, pada hari Jumat 18 Januari 1963, yang diberi nama Harlina, nama yang diabadikan kepada seorang perempuan terkenal yang gemar berkeliling Indonesia kala itu, dengan harapan putrinya kelak bisa mengelilingi tanah air tercinta ini. Sembilan anaknya yang lain juga lahir di rumah ini.
Badai ujian pertama dalam rumah tangga suami istri dimulai saat toko yang dipercayakan kepadanya makin hari makin maju. Sang suami memang memiliki kemahiran tersendiri dalam berdagang, sehingga berkenalan dengan pedagang Tionghoa yang memberinya kepercayaan untuk mengambil barang seberapa banyak pun yang pembayarannya dilakukan setelah barang laku terjual. Keuntungan pun makin mengalir deras bersamaan dengan pasokan barang ke toko lain. Namun, suatu ketika terjadi fitnah, H. Andi Muhammad diberhentikan tanpa pesangon, padahal siang itu ia baru saja beristirahat sekembali dari Makassar membeli barang yang ditempuh berhari-hari. Akhirnya pergumulan pun dimulai kembali dari nol besar.
Sebagai pasangan suami istri yang masing-masing sudah ditempa dengan agama yang kuat, maka ujian pahit menggetirkan tanpa tabungan dan warisan itupun dilaluinya dengan kebesaran jiwa, hingga mampu terlewatkan bahkan  membuatnya makin tegar. Ia, bahkan kembali mampu membeli lahan sawah, kebun, perhiasan emas dan membuka toko sendiri yang diberi nama toko Muda, singkatan nama Muhammad dan Dalima. Seiring dengan makin besarnya kebutuhan anak-anaknya yang sudah satu per satu disekolahkan di Kota Makassar dan demi masa depan anak-anaknya suami istri ini pun rela menjual satu per satu harta miliknya, termasuk perhiasan emas yang sengaja dikumpul secara diam-diam sampai 200 gram, tanpa diketahui suami, juga dijual habis, apalagi toko miliknya juga sudah mulai redup perlahan.
Di usia yang sudah makin mendekati senja, seharusnya pasangan suami isteri ini tinggal menikmati jerih payahnya, namun ia tak melakukan itu, ia tetap berjualan “jamu” untuk membantu orang-orang yang kena penyakit seperti cacar, tipes dan gangguan pencernaan.
“Anak-anak kami memang mengharapkan istrahat saja, namun kami tak ingin membebani mereka karena kalau sudah berumah tangga sudah pasti punya tanggung jawab. Kami merasa bahagia, anak-anak sudah berhasil,” tandasnya semangat.*

Laporan Jurlan Em Saho’as       

Prof. DrJANGAN MEMILIH RUMPUT HIJAU YANG TUMBUH DARI TAHI KERBAU



Prof. Dr. K.H. Sanusi Baco, LC.
“JANGAN MEMILIH RUMPUT HIJAU
YANG TUMBUH DARI TAHI KERBAU”
 

Kebahagiaan. Semua orang merindukan itu. Terlebih lagi, bagi mereka yang sudah memasuki kehidupan rumah tangga, kebahagiaan menjadi cita-cita bersama antara suami-istri yang dikuatkan dengan ikatan tali pernikahan. Hanya saja, terkadang kebahagiaan di mata setiap orang berbeda-beda. Ada yang menganggap kebahagiaan itu bisa terwujud melalui harta benda, perhiasan, rumah mewah, mobil mewah, istri cantik, suami ganteng atau lewat kekuasaan dan jabatan yang tinggi. Namun, ternyata semua itu bukanlah ukuran dan penentu dalam menikmati kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun harta benda yang melimpah dan wajah yang cantik atau ganteng dapat membuat seseorang merasa senang dan bahagia, boleh jadi kebahagiaan itu hanya sesaat, tidak langgeng. Kenyataan yang hampir sabang hari kita saksikan di layar televisi, kita baca di halaman berbagai media cetak atau mungkin saja kita saksikan langsung di sekitar lingkungan mukim kita, berbagai kasus rumah tangga yang berakhir dengan perceraian. Betapa banyak orang yang berhasil memimpin perusahaan besar tapi gagal dalam membina rumah tangganya. Betapa banyak politisi yang sukses memimpin partai besar tapi rumah tangganya berantakan. Kebahagiaan makin jauh dari keluarganya, padahal dia sudah memiliki kekayaan dan jabatan yang membuatnya dihormati  dan disegani.
Prof. Dr. K.H. Sanusi Baco, LC., Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan tiga periode dan Rois Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Sulsel dua periode, kepada MAMAKU yang menyambangi di rumahnya Jalan Kelapa Tiga Makassar mengatakan, kebahagiaan rumah tangga itu bukanlah terletak semata-mata pada harta benda, istri yang cantik dan kemewahan lainnya, tapi kebahagiaan itu dapat dirasakan bila kita mampu menikmati ketenangan jiwa di tengah keluarga dan di saat  bersujud kepada Allah SWT.
Menurut Kiai Sanusi, kebahagiaan itu tidak bisa diukur semata-mata dari harta benda yang melimpah. Betapa banyak negara yang kaya raya, seperti Jepang dan Amerika, tapi warganya banyak yang bunuh diri dan stress. Jadi orang gila dan dirundung kegelisahan hati.
Mengambil kisah nyata dari pertanyaan seorang mahasiswa kepada seorang guru besar ketika kuliah di Al Azhar Kairo, Kiai Sanusi menuturkan bahwa ada seorang suami yang berhasil sukses membangun ekonomi keluarganya dari nol. Saat itu dia membangun rumah besar bak istana dan saat akan rampung ia meminta kepada tukangnya, agar dibuatkan satu kamar lagi. Namun, si tukang kembali bertanya untuk apa kamar yang satu itu sementara bangunan rumah sudah hampir rampung.
Singkat cerita, lanjutnya, setelah rumah itu rampung si suami yang memegang sendiri kunci kamar. Setiap kali berada dalam kamar dia menguncinya. Begitu pula saat keluar, kamar itu dikunci. Tak ada seorang pun yang bisa masuk ke dalamnya. Akhirnya suatu hari, istri dan anak-anaknya tak tahan lagi dari rasa ingin tahu dan penasaran untuk segera menanyakan kepada laki-laki itu. Maka pada suatu malam, orang tua itu memperlihatkan dan member tahu kepada istri dan anaknya bahwa sengaja ia mengunci pintu itu karena di dalam ada tersimpan empat jenis barang yang sangat berharga, yaitu selembar kemeja yang sudah using digantung ditembok, lampu minyak, tikar tua dan cebokan. Keempat barang itu mengingatkan selalu di saat miskin dahulu sehingga setiap kali melihatnya  hatinya terdorong segera berwudhu dan sujud kepada Allah SWT. Pada saat itulah dia merasakan kebahagiaan yang luar biasa, bukan karena rumah yang besar dan mewah tapi justru kemeja yang sudah usang dan barang lainnya yang mengingatkannya untuk bersyukur dan bersujud lebih dekat kepada Allah SWT.
Menurut Kiai kharismatik yang mendapat gelar doktor dalam bidang hukum Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar dan juga menjabat Ketua Yayasan Masjid Raya Makassar, di dalam memilih istri hendaknya kita tidak terjebak dengan kulit  luarnya saja.  Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan ummatnya dalam sebuah hadisnya, bahwa ada empat unsur sumber datangnya kebahagiaan, yaitu istri yang saleh, anak yang saleh, rumah yang lapang dan tetangga yang baik. “Perkataan istri yang saleha dapat membuat suami dan anak-anaknya merasakan kebahagiaan, sehingga Nabi memerintahkan kawinilah perempuan yang baik budi pekertinya dan subur (banyak anaknya),” katanya.
Bahkan dalam hadis yang lain, kata pembina utama Pesantren Nahdlatul Ulum Maros, Nabi juga  mengingatkan agar ummatnya menikahi wanita dengan empat pertimbangan, yaitu karena hartanya, kecantikannya, keturunannya dan agamanya. Namun jika ingin memperoleh kebahagiaan maka pilihlah yang baik agamanya.
“Hadis itu dilanjutkan Nabi dengan  perkataan, saya ingatkan kalian, kata Nabi, jangan sampai memilih rumput yang hijau tapi  tumbuh dari tahi kerbau,” ucapnya mengutip terjemahan sebuah hadis Nabi.
Kisah lain tentang kemuliaan seorang istri dari ucapannya yang begitu indah dan menyejukkan hati saat suaminya terlihat murung durjana juga dikemukakan Kiai Sanusi dalam melengkapi perbincangannya dengan MAMAKU, tersebutlah seorang istri yang segera bertanya kepada suaminya yang tengah bersedih. Sang istri itu berkata, bahwa wahai suamiku apa gerangan yang membuatmu begitu bersedih, apakah engkau memikirkan tempatmu kelak di surga sementara saya  berada di neraka, atau sebaliknya saya berada dalam surga sementara engkau ditempatkan di neraka, atau kita berdua di dalam surga sementara anak-anak kita dijerumuskan ke dalam neraka, atau sebaliknya anak-anak kita berada di surga sementara kita berdua dimasukkan dalam neraka. Jika itu yang engkau pikirkan silahkan bersedih.
Tapi sekiranya, urai Kiai Sanusi melanjutkan, engkau memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari maka sesungguhnya saya tidak pernah membebanimu lebih dari kemampuanmu.
“Luar biasa ucapan sang istri di dalam menghibur dan memahami kesedihan suaminya. Ketegangan rumah tangga banyak terjadi disebabkan salah satunya adalah istri mengharapkan lebih dari kemampuan suami,” kata Kiai yang pernah menjabat Rektor Universitas Al Gazali (kini Universitas Islam Makassar).
Kebahagiaan memang menjadi tujuan dari segala ajaran agama Islam, terutama terkait dengan ibadah syariah, termasuk pernikahan yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan. Karenanya, laki-laki dalam Al Qur’an disebut “Arrijaalu” yang memiliki dua makna, yaitu laki-laki dan kaki. Itu berarti, seorang laki-laki dikatakan sudah mampu jika dia sudah mampu berdiri tegak, dalam arti memiliki kekuatan daya dan dana, sehingga seorang suami memiliki tanggung jawab melindungi, tempat bernaung dan bersandar istri yang dinikahi.*

Laporan Jurlan Em Saho’as