Prof. Dr. K.H. Sanusi Baco, LC.
“JANGAN MEMILIH RUMPUT
HIJAU
YANG TUMBUH DARI TAHI KERBAU”
Kebahagiaan. Semua orang
merindukan itu. Terlebih lagi, bagi mereka yang sudah memasuki kehidupan rumah
tangga, kebahagiaan menjadi cita-cita bersama antara suami-istri yang dikuatkan
dengan ikatan tali pernikahan. Hanya saja, terkadang kebahagiaan di mata setiap
orang berbeda-beda. Ada yang menganggap kebahagiaan itu bisa terwujud melalui
harta benda, perhiasan, rumah mewah, mobil mewah, istri cantik, suami ganteng
atau lewat kekuasaan dan jabatan yang tinggi. Namun, ternyata semua itu
bukanlah ukuran dan penentu dalam menikmati kebahagiaan dalam kehidupan
sehari-hari. Kalaupun harta benda yang melimpah dan wajah yang cantik atau
ganteng dapat membuat seseorang merasa senang dan bahagia, boleh jadi
kebahagiaan itu hanya sesaat, tidak langgeng. Kenyataan yang hampir sabang hari
kita saksikan di layar televisi, kita baca di halaman berbagai media cetak atau
mungkin saja kita saksikan langsung di sekitar lingkungan mukim kita, berbagai
kasus rumah tangga yang berakhir dengan perceraian. Betapa banyak orang yang
berhasil memimpin perusahaan besar tapi gagal dalam membina rumah tangganya.
Betapa banyak politisi yang sukses memimpin partai besar tapi rumah tangganya
berantakan. Kebahagiaan makin jauh dari keluarganya, padahal dia sudah memiliki
kekayaan dan jabatan yang membuatnya dihormati
dan disegani.
Prof. Dr. K.H. Sanusi Baco,
LC., Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan tiga periode dan
Rois Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Sulsel dua periode, kepada MAMAKU yang
menyambangi di rumahnya Jalan Kelapa Tiga Makassar mengatakan, kebahagiaan
rumah tangga itu bukanlah terletak semata-mata pada harta benda, istri yang
cantik dan kemewahan lainnya, tapi kebahagiaan itu dapat dirasakan bila kita
mampu menikmati ketenangan jiwa di tengah keluarga dan di saat bersujud kepada Allah SWT.
Menurut Kiai Sanusi,
kebahagiaan itu tidak bisa diukur semata-mata dari harta benda yang melimpah.
Betapa banyak negara yang kaya raya, seperti Jepang dan Amerika, tapi warganya
banyak yang bunuh diri dan stress. Jadi orang gila dan dirundung kegelisahan
hati.
Mengambil kisah nyata dari
pertanyaan seorang mahasiswa kepada seorang guru besar ketika kuliah di Al
Azhar Kairo, Kiai Sanusi menuturkan bahwa ada seorang suami yang berhasil
sukses membangun ekonomi keluarganya dari nol. Saat itu dia membangun rumah
besar bak istana dan saat akan rampung ia meminta kepada tukangnya, agar dibuatkan
satu kamar lagi. Namun, si tukang kembali bertanya untuk apa kamar yang satu
itu sementara bangunan rumah sudah hampir rampung.
Singkat cerita, lanjutnya,
setelah rumah itu rampung si suami yang memegang sendiri kunci kamar. Setiap
kali berada dalam kamar dia menguncinya. Begitu pula saat keluar, kamar itu
dikunci. Tak ada seorang pun yang bisa masuk ke dalamnya. Akhirnya suatu hari,
istri dan anak-anaknya tak tahan lagi dari rasa ingin tahu dan penasaran untuk
segera menanyakan kepada laki-laki itu. Maka pada suatu malam, orang tua itu
memperlihatkan dan member tahu kepada istri dan anaknya bahwa sengaja ia
mengunci pintu itu karena di dalam ada tersimpan empat jenis barang yang sangat
berharga, yaitu selembar kemeja yang sudah using digantung ditembok, lampu
minyak, tikar tua dan cebokan. Keempat barang itu mengingatkan selalu di saat
miskin dahulu sehingga setiap kali melihatnya
hatinya terdorong segera berwudhu dan sujud kepada Allah SWT. Pada saat
itulah dia merasakan kebahagiaan yang luar biasa, bukan karena rumah yang besar
dan mewah tapi justru kemeja yang sudah usang dan barang lainnya yang
mengingatkannya untuk bersyukur dan bersujud lebih dekat kepada Allah SWT.
Menurut Kiai kharismatik yang
mendapat gelar doktor dalam bidang hukum Islam dari Universitas Islam Negeri
(UIN) Alauddin Makassar dan juga menjabat Ketua Yayasan Masjid Raya Makassar,
di dalam memilih istri hendaknya kita tidak terjebak dengan kulit luarnya saja. Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan ummatnya
dalam sebuah hadisnya, bahwa ada empat unsur sumber datangnya kebahagiaan, yaitu
istri yang saleh, anak yang saleh, rumah yang lapang dan tetangga yang baik.
“Perkataan istri yang saleha dapat membuat suami dan anak-anaknya merasakan
kebahagiaan, sehingga Nabi memerintahkan kawinilah perempuan yang baik budi
pekertinya dan subur (banyak anaknya),” katanya.
Bahkan dalam hadis yang lain,
kata pembina utama Pesantren Nahdlatul Ulum Maros, Nabi juga mengingatkan agar ummatnya menikahi wanita
dengan empat pertimbangan, yaitu karena hartanya, kecantikannya, keturunannya
dan agamanya. Namun jika ingin memperoleh kebahagiaan maka pilihlah yang baik
agamanya.
“Hadis itu dilanjutkan Nabi
dengan perkataan, saya ingatkan kalian,
kata Nabi, jangan sampai memilih rumput yang hijau tapi tumbuh dari tahi kerbau,” ucapnya mengutip
terjemahan sebuah hadis Nabi.
Kisah lain tentang kemuliaan
seorang istri dari ucapannya yang begitu indah dan menyejukkan hati saat
suaminya terlihat murung durjana juga dikemukakan Kiai Sanusi dalam melengkapi
perbincangannya dengan MAMAKU, tersebutlah seorang istri yang segera bertanya
kepada suaminya yang tengah bersedih. Sang istri itu berkata, bahwa wahai
suamiku apa gerangan yang membuatmu begitu bersedih, apakah engkau memikirkan
tempatmu kelak di surga sementara saya
berada di neraka, atau sebaliknya saya berada dalam surga sementara
engkau ditempatkan di neraka, atau kita berdua di dalam surga sementara
anak-anak kita dijerumuskan ke dalam neraka, atau sebaliknya anak-anak kita
berada di surga sementara kita berdua dimasukkan dalam neraka. Jika itu yang
engkau pikirkan silahkan bersedih.
Tapi sekiranya, urai Kiai
Sanusi melanjutkan, engkau memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari maka
sesungguhnya saya tidak pernah membebanimu lebih dari kemampuanmu.
“Luar biasa ucapan sang istri
di dalam menghibur dan memahami kesedihan suaminya. Ketegangan rumah tangga
banyak terjadi disebabkan salah satunya adalah istri mengharapkan lebih dari
kemampuan suami,” kata Kiai yang pernah menjabat Rektor Universitas Al Gazali
(kini Universitas Islam Makassar).
Kebahagiaan memang menjadi tujuan
dari segala ajaran agama Islam, terutama terkait dengan ibadah syariah,
termasuk pernikahan yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan. Karenanya,
laki-laki dalam Al Qur’an disebut “Arrijaalu” yang memiliki dua makna, yaitu
laki-laki dan kaki. Itu berarti, seorang laki-laki dikatakan sudah mampu jika
dia sudah mampu berdiri tegak, dalam arti memiliki kekuatan daya dan dana,
sehingga seorang suami memiliki tanggung jawab melindungi, tempat bernaung dan
bersandar istri yang dinikahi.*
Laporan Jurlan Em Saho’as
Tidak ada komentar:
Posting Komentar